Nama :vendik setiawan
NIM :111020100045
teknik elektro sore / 2
Dosen pengampu : Drs.Hadi Ismanto.M.Si
revitalisasi pancasila sebagai sumber ideologi pancasila
Di tengah kontroversi sejarah dan politik yang ada, tanggal 1 Juni kerap dianggap sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Sebagai ideologi negara, Pancasila seharusnya menjadi sumber tatanan politik dan hukum untuk kehidupan pemerintah dan masyarakat. Sekarang, semuanya menjadi puing-puing politik ketika 13 tahun reformasi berlalu menjadi saksi betapa Pancasila kian memudar seiring dengan lengsernya Soeharto sebagai penopang dasar negara tersebut.
Pancasila, yang menjadi alat penindas kebebasan ideologi di bawah era Soeharto, kini semakin kalah bersaing dengan ideologi transnasional yang diadopsi kebanyakan masyarakat. Dalam dinamika politik kontemporer, Pancasila sebagai ideologi negara menjadi sasaran kritikan empuk.
Sementara kaum radikal transnationalis menuduh Pancasila gagal mengikat keragaman dan menganggapnya sebagai diakronis pikiran. Bagi mereka, Pancasila adalah tidak sejalan dengan ideologi kebenaran mutlak mereka percaya, yaitu teokrasi. Berbagai serangan terhadap Pancasila melalui gerakan sosial jelas-jelas berupaya membongkar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kelompok-kelompok anti-Pancasila tumbuh dengan subur dan terang-terangan menyatakan diri untuk mengubah ideologi negara dan mengacaukan Indonesia.
Sayangnya, negara ikut ambil bagian dalam melumpuhkan Pancasila ke tepi jurang yang lebih rendah. Pemerintahan pasca Orde Baru telah lebih menjadikan Pancasila sebagai mitos eksistensi konstitusional. Segenap upaya untuk merevitalisasi Pancasila makin ditinggalkan. Sebagai misal, Pancasila tidak lagi dijadikan sebagai mata pelajaran dengan kurikulum khusus dari sekolah dasar hingga tingkat perguruan tinggi.
Sebuah penelitian tentang ideologi pada tahun 2009 memberikan hasil yang mengejutkan. 61,2% responden mengatakan mereka tidak melihat lagi Pancasila sebagai ideologi yang mampu mengatasi beragam masalah bangsa, sementara 45% menganggap Pancasila tidak lebih berharga dan bermakna daripada agama. Dilihat dari aspek kognitif, dari 1000 anak-anak kelompok usia 18-23 yang disurvei, 59,2% gagal atau tidak mampu menghapal butir-butir Pancasila.
Mengapa Pancasila terkesan “dibuang ke laut” saat ini? Jawabannya terletak pada kenyataan bahwa masyarakat masih traumatis dengan pengalaman penguasa zaman Orde Baru yang memanipulasinya sebagai alat untuk menindas dan melestarikan ketidakadilan sosial atas nama stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi.
Karenanya, kini saatnya untuk melakukan lompatan kuantum (quantum leap) untuk merevitalisasi Pancasila secara proporsial, benar, dan lepas dari sinkretisme. Ini jelas menghajatkan kerja keras di tengah sinisme publik terhadap pemerintah Orde Baru sebelumnya dan gencarnya pengaruh Barat atas bahasa dan budaya Indonesia. Kebutuhan untuk revitalisasi atau menghidupkan kembali Pancasila dapat dilakukan sebagai berikut.
Pertama, Pancasila seharusnya tidak dianggap sebagai mitos dari suatu ideologi kebenaran mutlak. Pancasila harus menjadi subjek diskusi dan wacana publik lewat kekuatan pembebasan yang dimilikinya. Masyarakat perlu terlibat dalam proses reinterpretasi Pancasila seiring dengan perjalanan ruang dan waktu. Di tengah eskalasi radikalisasi keagamaan, misalnya, masyarakat perlu kembali ke nilai-nilai asli bangsa berupa sikap toleransi dan saling menghormati dengan Pancasila sebagai latar.
Revitalisasi Pancasila juga bergerak pada penguatan semangat nasionalisme. Bapak pendiri bangsa (founding fathers) meletakkan nasionalisme yang terlepas dari hubungan luar, menjadi sebuah negara yang terisolasi dalam percaturan internasional, atau bergaya chauvinistik sempit. Mereka menjadikan nasionalisme yang mengakui persaudaraan dunia dari sebuah keluarga bangsa-bangsa. Dengan demikian, semangat nasionalisme Indonesia tidak boleh menjadi pelopor xenofobia.
Xenofobia tak akan membawa Indonesia lebih jauh dalam dunia yang global dan saling tergantung saat ini. Tak seorangpun yang menghendaki Indonesia mengikuti langkah-langkah Myanmar dan Korea Utara. Isolasi bukanlah jalan terbaik, tapi tak sedikit para politisi kita yang menutupi jubah nasionalisme dengan sentiment xenofobia guna memajukan kepentingan politik mereka. Merek lama nasionalisme yang bernada xenofobia tak lagi mendapat tempat dalam ranah Indonesia modern.
Pancasila harus menjadi ideologi yang hidup, sebuah ideologi kerja yang antisipatif, adaptif dan responsif. Pancasila bukanlah dogma ketat karena ini bakal mencegahnya menjadi responsif terhadap tantangan zaman saat ini dan masa depan.
Kedua, revitalisasi Pancasila membutuhkan keteladanan para pemimpin dalam mengimplementasikan keadilan sosial, spiritualitas, dan kemanusiaan. Perubahan yang lebih baik harus dimulai dengan keteladanan seorang negarawan, karena lewat merekalah masyarakat mengaca dan mengambil petunjuk.
Kesuriteladanan para pemimpin bangsa ini dapat menggerakkan merealisasikan nilai-nilai Pancasila, menjadikan perbedaan latar belakang etnis dan agama sebagai faktor pemersatu, bukan pembelah kesatuan. Kegagalan melakukan ini semua hanya bakal menempatkan Pancasila sebagai slogan klise di dalam buku, tulisan dan pidato pejabat publik untuk kemudian dikhianati dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, Pancasila harus memainkan peran dalam membangun egalitarianisme yang menghormati prinsip-prinsip keadaban. Untuk itu, pemerintah harus mengurangi aturan-aturan yang terbang jauh dari prinsip-prinsip inti Pancasila.
Reformasi hukum yang pas dengan jiwa Pancasila menjadi sebuah keniscayaan. Hukum negara harus berdiri tegak sama adil untuk si kaya maupun miskin. Pada saat ini, hukum yang tidak adil ternyata masih memegang tali kendali dan terus menyebarkan virusnya. Karenanya, adalah penting menjadikan Pancasila untuk keluar dari sekadar batas-batas upacara seremonial.
Revitalisasi Pancasila memerlukan komitmen dan kerja keras. Di tengah kekurangannya, Pancasila masih merupakan denominator yang sahih untuk menjembatani kesenjangan yang menganga lebar bagi pelbagai kekuasaan politik.
0 komentar:
Posting Komentar